Jumat, 23 Maret 2012

Cerpen 1

Pesan Terakhir

          Pagi yang cerah menyambutku hari ini. Begitu juga senyuman hangat dari Icha yang sedang menungguku di depan kelas. Aku menghampirinya, lalu kusapa dia dengan senyuman yang tak kalah hangat. Yap,…dialah Icha, teman baikku. Kami memang dekat sejak pertama masuk sekolah menengah atas.
            Akan tetapi akhir-akhir ini kulihat senyum itu jarang menyapaku. Icha tampak murung. Dia juga sering melamun. Sepertinya dia sedang punya masalah yang sulit untuk diselesaikan. Setiap aku suruh dia cerita, dia selalu manjawab ‘aku baik-baik saja,La’.
            Ketika sore hari, Icha datang ke rumahku. Dia tiba-tiba menangis. Aku mencoba menenangkannya. Kuharap dia mau berbagi cerita denganku. Setelah berhenti menangis, akhirnya Icha mau bercerita tentang masalahnya.
            “ La, orang tuaku bercerai;” ungkap Icha.
            “ Apa????” aku sangat kaget mendengarnya.
            “ Sebenarnya sudah lama mereka bertengkar. Aku sengaja nggak cerita ke kamu. Aku malu sama kamu, La. Ini semua adalah kesalahan ayah. Ayah selingkuh, La. Mama juga salah, karena mama selalu sibuk dengan pekerjaannya. Sampai lupa akan suami dan anak-anaknya. Akhirnya mereka memilih untuk bercerai. Aku benci mereka, La! Mereka semua egois, nggak pernah peduli perasaanku,” air mata Icha kembali menetes.
       “ Kamu nggak boleh seperti itu, Cha! Ini semua cobaan buat kamu. Kamu harus sabar menghadapinya!”
            “ Aku nggak kuat kalau harus menghadapi ini sendirian,La.”
            “ Masih ada aku, dan tentunya keluargamu yang lain, Cha. Jadi kamu nggak perlu takut.”
            “ Aku mau buat ulah, La. Supaya mereka merhatiin aku. Apapun akan kulakukan supaya mereka peduli sama aku. “
            “ Jangan melakukan hal yang konyol, Cha!”
            “ Jangan halangi niatku, La!” Icha langsung mengambil tasnya dan keluar tanpa pamit dulu. Wajahnya memerah karena dia benar-benar marah. Aku hanya bisa diam, tak kuasa menahannya. Aku takut sekali kalau-kalau Icha sampai melakukan hal konyol demi mendapat perhatian orang tuanya.
            Semenjak kejadian kemarin aku jarang sekali melihat Icha. Ketika bertemu, aku sudah berusaha untuk mendekatinya, tapi dia selalu menghindar dariku. Aku diberitahu teman sekelas Icha kalau dia sering membolos saat jam pelajaran. Pantas saja kemarin ketika aku sedang ke lab untuk praktikum, aku memergoki Icha sedang nongkrong di kantin dengan gerombolan Karen dkk. Astaga,… mereka adalah anak-anak yang terkenal paling bandel di sekolah ini. Aku takut Icha terpengaruh oleh mereka. Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi.
@#@
            Hari ini aku berangkat sekolah lebih pagi. Aku sengaja menunggu Icha di depan gerbang sekolah. Pukul 06.55 Icha baru muncul. Langsung saja ku tarik dia menuju belakang pos satpam.
            “ Ada apa, La?” tanya Icha ketus.
            “ Lihat dirimu, Cha! Kamu sekarang berubah. Kenapa kamu mau-maunya bergaul dengan Karen??? Kamu mau terjerumus seperti mereka?”
            “ Apa pedulimu?!?!”
“ Kamu teman baikku, Cha. Aku nggak mau kamu seperti ini”
“ Udahlah, La! Hidupku udah nggak ada gunanya lagi. Kamu nggak usah peduli sama aku. Urus saja dirimu sendiri!”
Icha pergi begitu saja. Aku ingin menyusulnya, tapi langkahnya begitu cepat sehingga aku tidak bisa menyusulnya. Ku putuskan untuk masuk ke kelas karena bel jam pertama sudah berbunyi.
Aku sudah berusaha mengingatkannya. Usahaku ternyata hanya sia-sia. Icha tetap bergaul dengan Karen. Setiap hari banyak terdengar gosip buruk tentang dirinya yang semakin sering melanggar aturan sekolah. Icha yang dulu baik dan ceria berubah menjadi Icha yang sama sekali tak kukenal.
@#@
Aku sedang asyik memperhatikan panjelasan Pak Guru yang sedang menjelaskan tentang sejarah Perang Dunia ke II. Tiba-tiba terdengar sebuah keributan di dekat aula. Perasaanku sungguh tidak enak. Aku bergegas menuju ke sumber keributan. Aku menerobos kerumunan anak-anak yang sedang ramai menonton sesuatu dengan susah payah. Setelah itu kudapati seseorang sedang tergeletak dengan mulut penuh busa. Sepertinya wajah itu tidak asing bagiku. Dia itu Icha! Ya Allah,… Tim medis yang baru datang dengan cekatan menggotong Icha dan membawanya ke rumah sakit. Ku dengar dia tadi di temukan pingsan di kamar mandi dalam keadaan sakaw. Hatiku teriris mendengarnya.
Aku lalu menyusulnya ke rumah sakit bersama beberapa teman yang lain. Setelah sampai di UGD aku mendapati kedua orang tua Icha sedang cemas menunggu kabar dari dokter. Satu jam telah berlalu. Dokter tak kunjung keluar dari ruang UGD. Kami hanya bisa berdo’a untuk keselamtan Icha.
Seseorang dengan jas putih dengan peluh di dahinya membuka pintu. Dia adalah orang yang sedang kami tunggu. Mama Icha berlari mendekatinya.
“ Gimana keadaan anak saya, Dok?” tanya mama Icha dengan menangis tersedu-sedu.
“  Kami sudah berusaha semampu kami, Bu. Tapi Tuhan berkehendak lain. Nyawa anak ibu tidak tertolong. Maafkan kami.”
“ Tidaaaak!!!!”
Bagai tersambar petir ketika aku mendengar berita dari dokter. Aku tak percaya Icha pergi secepat ini. Kepalaku mulai terasa pening memikirkan semuanya. Setelah itu aku sudah tidak tahu lagi apa yang terjadi. Aku sudah tidak dapat berfikir lagi. Dan aku jatuh pingsan.
Ketika tersadar aku sudah berada di dalam kamarku. Bunda berada di sampingku. Beliau lalu membelaiku dangan lembut. Aku bangun dan memeluknya.
“ Bun, kenapa Icha pergi?” aku menangis.
“ Itu sudah menjadi takdir Tuhan, La. Kamu harus meengikhlaskan kepergiannya.”
“ Aku merasa bersalah karna aku tidak bisa mencegahnya untuk tidak berbuat nekat,Bun.”
“ Yang penting kamu sudah berusaha semampu kamu, La. Ini pilihan yang diambil Icha. Kamu nggak bisa merubahnya. Oh ya, bunda tadi menemukan sebuah surat jatuh dari tasmu,” lalu bunda memberikan surat tersebut padaku. Ku buka dengan perlahan-lahan.
Bandung, 15 Oktober 2011
Teruntuk sahabatku.

            Salam sayang.
            La, aku minta maaf kalau selama ini aku banyak salah sama kamu. Kamu mau kan maafin aku? Mungkin ketika kamu baca surat dari aku, aku udah nggak ada lagi di sampingmu. Sekali lagi maafin aku!
            La,  aku sudah terjebak. Aku udah nggak bisa menghindarinya. Aku ngedrugs, La. Awalnya aku nggak mau. Tapi Karen terus memaksaku sampai akhirnya aku mau mencoba. Ketika mengkonsumsi, sungguh membuatku merasa tenang dan aku bisa melupakan semua masalahku. Semakin lama aku ketagihan, dan aku nggak bisa berhenti. Dan aku tahu ini akan berdampak buruk bagi kesehatanku.
            Cha, aku minta tolong sama kamu. Tolong sampaikan ini ke orang tuaku,
‘Pa, Ma, aku sayang sama kalian. Aku harap kalian mau menjaga Rendi dengan baik, kasih perhatian yang banyak buat dia. Jangan buat dia sakit hati! Walaupun kalian sudah bercerai, kalian harus tetap akur. Aku juga minta maaf kalau aku belum bisa membahagiakan kalian. Aku sudah lelah. Terima kasih atas semua pengorbanan kalian. Icha.’
            Makasih buat semuanya ya, La.

Icha                                                    
                                   
            “ Cha, kenapa kamu seperti ini?” air mataku semakin deras. Bunda memelukku dan menenangkanku.
@#@
            Setelah pamakaman Icha selasai, aku menemui orang tuanya. Kusampaikan semua pesan Icha. Mereka menangis mendengarnya. Terpancar sinar kekecewaan yang mendalam dari wajah mereka. Ku harap mereka menyadari akan kesalahan mereka dan berusaha untuk lebih baik.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar